Makalah Mengenai Perbankan di era AFTA

Standar

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.

Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk 1 mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.

Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.

Pengertian AFTA

ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN, melalui skema CEPT-AFTA.

Tujuan AFTA

Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN.

PEMBAHASAN

BAB II

                Dalam era perdagangan bebas (AFTA, APEC dan WTO) setiap perusahaan menjadi bebas untuk mendirikan perwakilannya dimanapun. Sehingga kalau suatu negara dianggap akan menguntungkan bagi perusahaamya maka dia akan mengembangkan produknya di Negara tersebut (home coulztly). Dengan demikian persaingan akan semakin ketat. Kalau perusahaan di home countly belum siap untuk menghadapi persaingan dengan perusahaan asing maka dapat dipastikan home country hanya akan menjadi sasaran pemasaran negara asing. Oleh karena itu untuk mengantisipasi kondisi tersebut diatas pemerintah Indonesia, berusaha menyiapkan pelaku ekonomi Indonesia agar bisa siap menghadapi perdagangan bebas. Cara yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang ditujukan untuk menjadikan pelaku ekonomi Indonesia siap dalam memenangkan persaingan global. Stretegi yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan mengeluarkan peraturan secara bertahap. Hal tersebut juga dilakukan pemerintah untuk menyiapkan perbankan Indonesia agar menjadi siap dalam menghadapi persaingan global. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:

  1. Paket Januari 1983, kebijakan pemerintah ini berisi penghapusan pagu kredit dan tingkat bunga. Sehingga berakibat bank dapat mengeluarkan keditnya berdasarkan kemampuannya dengan tingkat bunga yang dapat disesuaikan sendiri.
  2. Paket 27 Oktober 1988, kebijakan pemerintah terhadap perbankan adalah memberikan kebebasan dan kemudahan bank untuk membuka cabangnya dimanapun di wilayah Indonesia.
  3. Paket Januari 1990, berisi pengurangan kredit likuiditas Bank Indonesia secara bertahap dan mewajibkan bank memberikan kreditnya 20 % dananya bagi industry kecil. Akibat peraturan-peraturan pemerintah tersebut menjadikan sector perbankan memasuki tahapan baru; dari yang sebelum peraturan-peraturan itu seolah-olah campur tangan pemerintah sangat besar, menjadi campur tangan pemerintah sangat kecil sehingga tingkat persaingan meningkat. Dengan demikian agar perbankan tetap bisa bertahan hidup maka bank-bank di Indonesia dituntut memberikan kepada nasabahnya berbagai pelayanan, sehingga dia bisa mempertahankan nasabah lamanya dan mendapatkan nasabah baru. Kalau kita kebetulan menabung seringkali dikecewakan oleh pelayanan yang diberikan suatu bank; seperti teller yang tidak ramah, catatan rekening yang keliru, waktu antre yang lama, suasana gedung yang tidak nyaman, parkir yang sempit dan kesulitan mengambil uang tabungan. Ketidaksesuaian terhadap pelayanan bank menjadikan kita berpikir untuk mencari bank lainnya atau memindahkan tabungan kita ke bank yang menurut kita bisa memberikan pelayanan yang lebih baik. Dengan demikian agar tetap menang dalam persaingan, bank harus bisa menyesuaikan antara harapan nasabahnya dengan pelayanan yang diberikannya.

Kurang dari satu tahun, negara-negara yang tergabung da-lam ASEAN, akan memasuki penerapan perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara yang dinamai Free Trade Area (AFTA) yang mulai berlaku tahun 2015. Tujuannya agar bisa meningkatkan daya saing ekonomi kawasan ASEAN di dunia. Secara umum, banyak peluang keuntungan yang akan didapat Indonesia saat diberlakukannya AFTA 2015. Salah satunya adalah akan mempermudah masyarakat Indonesia bekerja di negara-negara ASEAN. Hal ini tentunya dengan syarat bahwa SDM Indonesia telah ’siap pakai’ sebagai tenaga kerja luar negeri dengan tingkat keahlian yang memadai. Lalu pertanyaannya, apakah Indonesia telah siap dalam hal ini? Apakah putera-puteri Indonesia telah siap secara profesional di bursa kerja ASEAN?

Ketidaksiapan SDM Indonesia

Kalau mau jujur, sebetulnya sudah bukan waktunya lagi mempertanyakan kesiapan Indonesia menghadapi ASEAN AFTA. Siap atau pun tidak, kita tak bisa lari dari kenyataan penerapan perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara mulai 2015.Waktu untuk berbenah tidak banyak, kurang dari setahun. Namun secara kasat mata kita melihat kelapangan, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah: “Indonesia Tidak Siap!” Mengapa? Karena Indonesia belum memiliki modal yang menjanjikan agar cukup untuk dikatakan “siap”. Indonesia masih memiliki banyak “pekerjaan rumah” yang belum sempat diselesaikan, dan hal ini akan menghambat bahkan justru akan menjatuhkan Indonesia dalam persaingan global yang kompetitif. Jika ditilik dari kompetensi sumber daya Indonesia, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara penggagas AFTA lainnya.

Hal ini dibuktikan berdasarkan indeks kompetensi yang dikeluarkan oleh World Economic Forum pada tahun 2013, bahwa Indonesia menempati urutan ke-50 atau lebih rendah dari Singapura (ke-2), Malaysia (ke-20), dan Thailand (ke-30). Rendahnya kompetensi sumber daya Indonesia diperoleh dari faktor-faktor yang saling berkaitan seperti: tenaga kerja/ahli profesi yang tidak memiliki kualifikasi mumpuni; minimnya pelaksanaan sertifikasi kompetensi; belum sesuainya kurikulum di sekolah menengah dengan keahlian profesi; serta sumber daya manusia di Indonesia yang sangat berlimpah namun belum dapat dioptimalkan oleh pemerintah.

Oleh karena itu, Indonesia dikatakan belum siap untuk menghadapi kuatnya persaingan tenaga kerja AFTA 2015 karena tenaga kerja Indonesia sendiri tidak akan cukup banyak yang mampu memenuhi standar yang dibutuhkan. Standar tersebut akan selalu meningkat seiring dengan tingginya persaingan kemampuan, keterampilan, pengetahuan, maupun kemampuan berbahasa, antar tenaga kerja negara-negara South-East.

Disamping itu, menurut catatan BPS pada Agustus 2013, bahwa pengganguran terbuka di Indonesia mencapai 6,25 persen. Angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 118,2 juta orang. Dari sumber yang sama kita dapati bahwa masih ada lebih dari 360 ribu orang sarjana yang menganggur di negeri kita. Angka yang sangat mencengangkan sekaligus memprihatinkan. Jika sekarang saja para sarjana sulit mencari kerja, apalagi tamatan SMA, SMP dan SD, tentunya akan lebih sulit lagi, terlebih menjelang diterapkannya AFTA 2015, bayang-bayang akan ledakan pengangguran terdidik akan semakin nyata.

Terlebih dengan dibukanya AFTA 2015 bisa dipastikan banyak tenaga kerja dari luar negeri masuk ke Indonesia. Sementara orang Indonesia kebanyakan mengirim tenaga kerja keluar negeri bukan sebagai tenaga ahli, melainkan tenaga kerja seperti pembantu rumah tangga, sopir, dan pekerja kasar di pabrik-pabrik, perkebunan atau di rumah tangga.

Sedangkan negara lain mengirim tenaga kerja yang terdidik dan terlatih sehingga dia bekerja pada posisi sebagai manajer atau tenaga ahli di Indonesia. Dengan diterapkan AFTA 2015, banyaknya tenaga kerja dari luar negeri yang akan menggeser dan mengisi tenaga kerja dari Indonesia, dan sudah bisa dipastikan semakin banyak pengangguran di Indonesia. Segenap rakyat Indonesia yang belum siap /dipersiapkan oleh pemerintahnya untuk menghadapi AFTA 2015, kemudian hanya akan menjadi ‘korban’ yang semakin dikalahkan dalam percaturan global antarbangsa.

Pembenahan SDM

Meski AFTA 2015, merupakan ‘buah simalakama’ yang dipaksakan/dijejalkan ke dalam mulut seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk dimakan. Mau tidak makan juga mati, mau makan juga mati. Siap tidak siap harus siap. Bagaimana caranya untuk siap, ketika AFTA 2015, sepertinya masih berupa sebuah euforia bagi pemerintah, baik Pemda dan pusat yang saat ini sepertinya masih tidur pulas dan kurang tanggap untuk mempersiapkan masyarakatnya agar menjadi lebih siap dalam berbagai aspek untuk menghadapi semua tantangan ini untuk dijadikan peluang menjadi lebih sejahtera dan bermartabat di pentas Asia?

Diwaktu yang semakin sempit ini, ada banyak hal penting yang bisa membuat Indonesia bisa bertahan, atau bahkan bisa memanfaatkan AFTA 2015 untuk kemajuan bangsa ini. Tentunya dengan harapan pemerintah memahami prioritas masalah yang harus diselesaikan dan kekurangan yang perlu ditingkatkan. Nah, prioritas pemerintah saat ini maupun pemerintah yang terpilih pasca pilpres 9 Juli 2014 nanti, yaitu memfokuskan perhatian dalam pembenahan SDM melalui perbaikan pendidikan di Indonesia yang harus mendukung daya saing dan dayaguna agar lulusan yang dihasilkan bisa bekerja dan bersaing di perusahaan atau industri tidak hanya di Indonesia tetapi juga negara lain.

Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan kompetensi, pola pikir adalah aspek penting yang perlu diperhatikan. Pola pikir tenaga kerja maupun calon tenaga kerja harus mulai disesuaikan dengan tren abad ke-21, antara lain: pembelajaran yang mendorong manusia untuk mencari tahu dari berbagai sumber observasi; pembelajaran yang diarahkan untuk mampu merumuskan masalah, bukan hanya menjawab masalah; pembelajaran yang diarahkan untuk melatih berfikir analitis dan bukan berfikir mekanistis, serta pembelajaran yang menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah. Hal ini harus sudah mulai dibentuk sejak memasuki dunia pendidikan tingkat tinggi seperti SMA dan PerguruanTinggi.

Yang kedua, masalah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang kalah saing dengan industri dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Ini membuat para pelaku UKM di Indonesia merasa terancam. Maka dalam hal ini, pemerintah harus turun tangan membantu. Pemerintah bisa membantu dengan bekerja sama dengan pihak perbankan untuk memberikan kredit usaha bagi pengusaha UKM. Yang terakhir, Pemerintah harus menerapkan aturan agar kepentingan warga dan kepentingan dari luar negeri tidak bersinggungan yang menyebabkan terjadinya masalah atau benturan di kemudian hari.

Akhirnya, penerapan perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara mulai 2015, sudah didepan mata. Siap ataupun tidak, kita tak bisa lari dari kenyataan.

Maka di waktu yang semakin sempit ini, marilah bekerja keras menyiapkan diri untuk menjadi pemenang dalam percaturan di kawasan Asia Tenggara.***

Bagiamana nasib Indonesia nanti ketika ASEAN Free Trade Area (AFTA) 2015 mulai diberlakukan? Jika menyimak kondisi terakhir dewasa ini, boleh jadi Indonesia akan menjadi negara yang “gagap” menghadapi AFTA 2015 karena belum memiliki kesiapsiagaan cukup kuat. Jangan-jangan, pemberlakukan AFTA 2015 nanti bisa menimbulkan “bencana” yang dapat menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat Indonesia.

Menurut Philip Kotler (dkk), sebuah bangsa dapat berkembang maju di era globalisasi jika mampu melakukan persiapan dengan baik, antara lain menyiapkan pembangunan infrastruktur fisik, infrastruktur teknologi, kekuatan human capital dan dukungan infrastruktur untuk usaha kecil. Namun menjelang AFTA 2015 ini, Indonesia tampaknya belum mampu melakukan persiapan dengan baik. Setidaknya hal itu dapat dilihat dalam beberapa indikator yang akan diuraikan di bawah.

Kekuatan Human Capital Indonesia di ASEAN

Walau memiliki jumlah penduduk paling besar di ASEAN, jika dari sisi kekuatanhuman capital, Indonesia terbilang masih tertinggal dengan beberapa negara tetangga. Hal itu dapat dilihat dari angka Human Development Index (HDI) yang diukur berdasarkan beberapa indikator (pendidikan, angka harapan hidup dan pendapatan nasional). Memang benar, dalam beberapa tahun terakhir ini angka HDI Indonesia yang diumumkan secara rutin oleh United Nations Development Programme (UNDP) terus mengalami peningkatan. Namun angka HDI Indonesia terbilang masih rendah, yakni hanya sebesar 0,629 dan tergabung dalam kelompok negara dengan HDI katagori Medium human development.[Lihat table di bawah]

072614_0349_globalisasi2

Dari tabel di atas tampak jelas, dari 10 negara tetangga di Asia Tenggara, HDI Indonesia hanya berada pada urutan ke-6 di Asia Tenggara dengan ranking HDI pada urutan ke-121 di dunia (berdasar perhitungan UNDP). Meski memiliki kekayaan sumber daya alam yang lebih besar, HDI Indonesia masih berada jauh di bawah Singapura (HDI=0,895; rangking=18) dan Brunei (HDI=0,855; rangking=30) yang mampu tampil sangat maju dalam kelompok negara dengan HDI katagori Very high human development. Sedang human capital yang dimiliki Malaysia juga cukup jauh di atas Indonesia karena memiliki angka HDI sebesar 0,769 (ranking=64) dan tergolong dalam kelompok negara dengan HDI katagori High human development. Thailand, Philipina dan Indonesia memang sama–sama tergabung dalam kelompok negara dengan HDI katagori Medium human development. Namun HDI Thailand dan Philipina masih berada di atas Indonesia. Kondisi ini tentu memprihatinkan karenahuman capital yang dimiliki Indonesia hanya sedikit di atas Timor Leste, Kamboja dan Myanmar. Pendek kata, dari sisi human capital dalam menghadapi AFTA 2015, Indonesia masih lemah atau kalah kuat dengan Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Philipina.

Kebijakan Pemerintah dan Daya Saing Indonesia di ASEAN

Selain memiliki human capital yang masih lemah, kebijakan pembangunan pemerintah Indonesia sendiri belum benar-benar memiliki keberpihakan kepada kepentingan publik. Dari politik anggaran misalnya, berdasar penelitian penulis di berbagai daerah, alokasi dana APBD cenderung dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan rutin aparatur daerah, terutama untuk memenuhi belanja pegawai. Sedang alokasi dana APBD untuk pembangunan infrastruktur fisik (pendidikan, jalan, jembatan dan teknologi) rata-rata masih jauh lebih kecil dari belanja pegawai. Bahkan, banyak daerah yang terancam bangkrut karena alokasi belanja pegawai sangat besar mencapai sekitar 70% dari total APBD.

Dari sisi dukungan infrastruktur terhadap usaha kecil di Indonesia masih tergolong belum baik. Dalam penyaluran kredit perbankan misalnya, dari 56,5 juta Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia baru sekitar 14,69% yang dapat memperoleh pinjaman bunga lunak dari Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sementara kebijakan pemerintah juga dinilai kurang berpihak sektor UKM jika melihat penyusunan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Bahkan, MP3EI malah dianggap berlawanan dengan UUD 1945, khusuhnya terkait pemain ekonomi yang diakui negara.

Dari sisi kultur birokrasi, proses pelayanan publik masih sering dikeluhkan lamban dan hal itu diperparah lagi kuatnya perilaku korupsi aparatur pemerintah. Tengok saja angka Corruption Perceptions Index (CPI) 2013 yang dikeluarkan Transparency International, Indonesia masih tergolong kuat korupsinya.[Lihat table di bawah].

072614_0349_globalisasi3

072614_0349_globalisasi4

Dalam table CPI di atas, Singapura merupakan negara paling kecil korupsinya di ASEAN. Kemudian disusul Brunei, Malaysia, Philipina dan Thailand. Dalam CPI ini Indonesia lagil-lagi masih berada di bawah lima Negara tetangga terdekat tersebut, meski lebih baik dari Vietnam, Tmor Leste, Kamboja dan Myanmar. Mengenai Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/GCI) 2013–2014 yang dikeluarkanWorld Economic Forum, Indonesia memang agak lebih baik dari Vietnam, Tmor Leste, Kamboja dan Philipina. Kendati demikian, Indonesia masih kalah dengan Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand [Lihat tabel GCI di atas].

Indonesia Belum Siap Hadapi AFTA 2015?

Jika melihat lagi indikator Resource Governance Index 2013 (RGI) yang dikeluarkanRevenue Watch Institute (RWI) kemudian dikaitkan dengan tiga indikator di atas (HDI dari UNDP; CPI dari Transparency International; GCI dari World Economic Forum) dapat ditemukan kesimpulan cukup logis bahwa dalam negara dengan tata kelola pemerintahan kurang baik terdapat korupsi yang tinggi, human capital lemah dan daya saing global yang lemah pula.

Ambil contoh Kamboja dan Myanmar yang tergolong negara paling lemah di ASEAN. Menurut RGI yang dikeluarkan Revenue Watch Institute, tata kelola pemerintahan di Kamboja tergolong buruk (rangking RGI= 52), dan ternyata Kamboja memiliki tingkat korupsi tinggi (angka CPI= 20), human capital lemah (angka HDI=0,543) dan daya saing global lemah pula (angka GCI=4,01). Myanmar yang memiliki tata kelola pemerintahan paling buruk (rangking RGI= 58), juga terdapat korupsi tinggi (angka CPI= 21), human capital lemah (angka HDI=0,498) dan daya saing global lemah pula (angka GCI=3,23).

Indonesia memang memiliki tata kelola pemerintahan lebih baik dari Kamboja dan Myanmar. Namun, konsistensi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih termasuk lemah. Padahal, sumber pendapatan APBN Indonesia sebagian besar masih berasal dari pajak.

Seandainya saja pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan dengan baik dan meningkatkan pendapatan APBN tentunya juga dapat dipakai mendukung pembangunan aneka infrastruktur dan human capital sebagai modal kesiapsiagaan menghadapi persaingan global dalam AFTA 2015. Namun faktanya, pengelolaan sumber daya alam masih kerap mendapat sorotan negatif. Dalam penerapan UU Minerba saja masih dinilai  “memble”. Karena itu, cukup berat kiranya jika Indonesia akan dapat memperkuat human capital dengan baik dalam waktu singkat. Bagamaina mungkin Indonesia akan mampu menyiapkan aneka macam infrastruktur dengan baik seperti yang diungkap Philip Kotler dalam menghadapi persaingan global kalau kapasitas fiskal negara lemah dan masih harus digeroti oleh tikus-tikus koruptor?

Jadi tidak berlebihan pula, kalau kalangan pengusaha Indonesia sendiri, tidak semuanya menyatakan siap menghadapi AFTA 2015. Bahkan, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), Suryani SF Motik, menegaskan bahwa Indonesia belum siap menyambut AFTA 2015. Sebaliknya, Indonesia dikhawatirkan hanya akan menjadi target pasar jika para pengusaha lokal tidak mendapat dukungan dari pemerintah.

AFTA 2015 Bisa Seperti Letusan Gunung Kelud atau Krakatau 1883

Berangkat dari banyaknya catatan persoalan tersebut, maka tidak berlebihan kiranya jika pemberlakuan AFTA 2015 nanti dapat menimbulkan “bencana” bagi masyarakat Indonesia. Sebab, Indonesia akan kesulitan meningkatkan produktivitas akibat kalah bersaing dengan negara tetangganya sendiri dalam AFTA 2015. Dampaknya, Indonesia hanya akan menjadi negara konsumen dan bukan negara produsen. Bagi masyarakat elit Indonesia (menengah ke atas) yang memiliki kapital kuat mungkin masih bisa tampil bersaing dan mampu masuk dalam daftar orang terkaya. Namun bagi masyarakat ekonomi lemah atau pelaku UKM, kehadiran AFTA 2015 nanti bisa diibaratkan seperti menghadapi “bencana” letusan Gunung Krakatau 1883 atau letusan Gunung Kelud 1919. Bagi yang tidak memiliki kesiapsiagaan (modal kuat, pengetahuan dan kreatifitas) boleh jadi akan “hangus” disapu oleh awan panas  yang meletup dari “Gunung Globalisasi” dan “Gunung AFTA 2015”.

Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali harus memperbaiki tata kelola pemerintahan agar korupsi bisa ditekan dan pengelolaan sumber daya negara dapat dipakai lebih optimal untuk memperkuat pembangunan infrastruktur serta memperkuathuman capital. Tanpa ada perbaikan tata kelola pemerintahan, maka dikhatirkan akan dapat menciptakan disparitas sosial-ekonomi yang pada akhirnya dapat mendorong timbulnya “bencana sosial” (kemiskinan) maupun “bencana politik” (disintegrasi). Yang jelas, tanda-tanda datangnya “bencana sosial” sudah mulai muncul. Bukankah kasus pembuangan pasien di  Lampung lalu merupakan satu contoh adanya tanda-tanda “bencana sosial” bagi masyarakat miskin? Kalau AFTA 2015  mulai diberlakukan, bukankah “bencana sosial” yang mungkin timbul akan bisa lebih hebat lagi?[@SutBudiharto : dupublikasikan pertama di Kompasiana ]

Kebijakan Pemerintah dan Daya Saing Indonesia di ASEAN

Selain memiliki human capital yang masih lemah, kebijakan pembangunan pemerintah Indonesia sendiri belum benar-benar memiliki keberpihakan kepada kepentingan publik. Dari politik anggaran misalnya, berdasar penelitian penulis di berbagai daerah, alokasi dana APBD cenderung dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan rutin aparatur daerah, terutama untuk memenuhi belanja pegawai. Sedang alokasi dana APBD untuk pembangunan infrastruktur fisik (pendidikan, jalan, jembatan dan teknologi) rata-rata masih jauh lebih kecil dari belanja pegawai. Bahkan, banyak daerah yang terancam bangkrut karena alokasi belanja pegawai sangat besar mencapai sekitar 70% dari total APBD.

Dari sisi dukungan infrastruktur terhadap usaha kecil di Indonesia masih tergolong belum baik. Dalam penyaluran kredit perbankan misalnya, dari 56,5 juta Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia baru sekitar 14,69% yang dapat memperoleh pinjaman bunga lunak dari Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sementara kebijakan pemerintah juga dinilai kurang berpihak sektor UKM jika melihat penyusunan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Bahkan, MP3EI malah dianggap berlawanan dengan UUD 1945, khusuhnya terkait pemain ekonomi yang diakui negara.

Dari sisi kultur birokrasi, proses pelayanan publik masih sering dikeluhkan lamban dan hal itu diperparah lagi kuatnya perilaku korupsi aparatur pemerintah. Tengok saja angka Corruption Perceptions Index (CPI) 2013 yang dikeluarkan Transparency International, Indonesia masih tergolong kuat korupsinya.

Sumber Corruption Perception Index (CPI) 2013

Faktor-faktor yang menyebabkan daya saing Indonesia terus menurun disamping investor yang tak kunjung datang disebabkan infrastuktur yang buruk, ketidakefisienan birokrasi, keterbatasan akses pendanaan, kebijakan tidak stabil/ inkonsistensi kebijakan, stabilitas ekonomi makro, pendidikan dasar dan kesehatan dan kesiapan ekonomi.

Pembangunan Infrastruktur

Salah satu kendala tersebut adalah kendala pembangunan infrastruktur. Pemerintah belum berhasil dalam pembangunan infrastuktur seperti pembangunan infrastruktur untuk transportasi massal yang terintegrasi dan infrastruktur transportasi umumnya untuk keseluruhan wilayah Indonesia. Kegagalan pembangunan infrastuktur tersebut berdampak pada high cost economy dan lemahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri. Artinya, pada MEA 2015 nanti Indonesia hanya menjadi surga bagi produk asing tetapi tidak mampu bersaing dengan negara ASEAN lain dalam meraih investasi asing langsung karena lemahnya daya saing daerah akibat terkendalanya pembangunan infrastruktur.

Kendala pembangunan infrastruktur disebabkan antara lain oleh faktor korupsi yang relatif tinggi hingga 40% yang terjadi di birokrasi, kendala pembebasan lahan, infrastruktur, pendanaan dan biaya logistik. Rata-rata biaya logistik di Indonesia 17% dari total biaya produksi, sedangkan Singapura hanya 6% dan Malaysia 8%.

Sebenarnya untuk kendala pembebasan lahan, pemerintah sudah mengatasinya dengan munculnya UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dimana yang dimaksud dengan tanah untuk kepentingan umum di antaranya adalah tanah yang dimanfaatkan untuk jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api, pelabuhan dan bandar udara. Namun hingga sekarang, UU tersebut belum cukup ampuh untuk penyediaan tanah bagi pembangunan infrastruktur. Kendala lainnya adalah rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran belanja termasuk belanja modal.

Langkah yang harus dilakukan Indonesia dalam mengahdapi AFTA 2015.

Sumber Daya Manusia.

Peningkatan pengembangan sumber daya manusia perlu dilakukan semaksimal mungkin. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas Indonesia dapat memanfaatkan kondisi persaingan yang semakin meningkat.

Dalam rangka menghadapi AFTA usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia harus lebih ditingkatkan. Dalam hal ini adalah kebijakan pengembangan pendidikan merupakan bagian yang sangat penting terutama yang meyangkut dengan keterampilan.

Disini dapat dilakukan dengan pengembangan sekolah kejuruan dan politeknik perlu perhatian yang lebih besar dalam menyiapkan tenaga kerja yang berpengetahuan dan terampil.Disamping itu juga peningkatan kesehatan masyarakat juga sangat penting dalam meningkatkan produktivitas kerja.

 

Meningkatkan efisiensi dalam negeri.

Usaha yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing komoditi ekspor Indonesia dipasar komoditi adalah melalui peningkatan efisiensi produksi dalam negeri. Dengan cara itu biaya produksi rata-rata dari setiap produk dapat ditekan serendah mungkin. Selain itu akan memungkinkan Indonesia untuk menekan harga jual luar negeri sehingga daya saing komoditi akan lebih kuat.

Kondisi yang diinginkan adalah adanya persaingan yang sehat antara sesame pengusaha dan tidak ada distorsi harga bahan baku. Selain itu, biaya non produksi harus dikurangi sebanyak mungkin sehingga biaya produksi secara keseluruhan dapat ditekan.

Dengan ditekannya harga bahan baku biaya produksi secara umum dapat ditekan yang pada gilirannya akan berpengaruh besar terhadap daya saing komoditi tersebut di luar negeri.

Melakukan pembentukan organisasi pelaksana AFTA.

AFTA merupakan kegiatan baru dalam kerjasama ASEAN yang tentu saja harus didukung oleh struktur organisasi yang kuat agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar. Struktur organisasi yang kuat sangat diperlukan karena AFTA harus dilaksanakan dengan aik, adil dan terarah sehingga msing-masing negara dapat menikmati manfaatnya secara maksimal dan merata.

Diperlukan juga pengawasan yang ketat untuk menjaga jangan sampai terjadi kecurangan dalam melaksanakan perdagangan yang akan merugikan suatu negara. Organisasi atau komunitas ASEAN yang dibentuk adalah AEC. ASEAN Economic Community (AEC) akan menyebabkan lalu-lintas perdagangan bebas (AFTA) 2015 di kawasan ASEAN menjadi tanpa kendala.

AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN dalam mewujudkan integrasi ekonomi kawasan. AEC Blueprint memuat empat pilar utama yaitu:

  1. ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas.
  2. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerse.
  3. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN; dan
  4. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.

AEC dapat memberikan peluang bagi Indonesia pertama membuka peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan aliran modal yang masuk ke kawsan yang kemudian di tempatkan di asset berdominasi rupiah.

Yang kedua jika AEC 2015 sukses dilaksanakan maka akan menjadikan kawasan di ASEAN memiliki potensi ekonomi yang tinggi dan tentu saja hal tersebut banyak menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di kawasan ASEAN.

Yang ketiga dengan adanya AEC juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan negara lainnya yang berada di kawasan ASEAN. Dengan adanya pembentukan pasar yang lebih besar dapat membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas di kawasan ASEAN dan diharapakan hal tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di negaranya.

Yang keempat kawasan di ASEAN merupakan negara pengekspor sumber daya alamnya maupun barang elektronik. Diharapkan dengan meningkatnya harga komoditas di pasar dunia, maka akan menciptakan surplus transaksi perdagangan di kawasan ASEAN.

Kelima terbukanya peluang pemanfaatan teknologi diantara negara anggota.

Perbaikan dalam bidang keamanan dan pengawasan makanan.

Menurut saya dalam hal ini pengawasan keamanan pangan di Indonesia sangat lemah. Karena apa? Karena banyak buah import dan makanan lainnya yang masuk ke Indonesia yang mengandung formalin tidak terdeteksi oleh lembaga pengawasan dan keamanan pangan Indonesia.

Selain buah juga ada sayuran import yang memiliki kadar pestisida yang tinggi yang lepas dari lembaga pengawasan dan keamanan pangan. Pasar Bebas ASEAN memang masih di tahun 2015. Tetapi tidak dapat dipungkiri, produk-produk negara ASEAN sudah masuk ke Indonesia, termasuk buah, sayuran segar, dan pangan lainnya.

Nah, jika pemerintah sudah lemah pengawasannya, tentu kita lah sebagai konsumen yang pro-aktif melindungi diri kita sendiri dan perlu adanya peran dari kementrian pertanian Indonesia yang perlu diperketat di pintu masuk import, sebelum barang tersebut masuk ke supermarket Indonesia dan menjadi konsumsi masyarakatnya sebaiknya melakukan pengujian terhadap barang ataupun bahan makanan yang akan masuk ke Indonesia.

Mengkreasikan kewirausahaan/UMKM .

Para pemimpin seharusnya yakin bahwa kewirausahaan mampu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.hal ini juga harus diikuti dengan para pemimpin bisnis dan wirausahawan yang kreatif.

Di Indonesia UKM mempunyai peranan yang perannya dalam penciptaan atau pertumbuhan strategis dalam pembangunan, hal ini ditunjukkan kesempatan kerja dan sebagai salah satu sumber dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang penting bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang dinyatakan bahwa untuk memperkuat daya saing bangsa salah satu kebijakan pembangunan dalam jangka panjang adalah memperkuat perekonomian domestic berbasis keunggulan masing-masing wilayah menuju keunggulan kompetitif.

Namun untuk menghadapi krisis ekonomi global dan perdagangan bebas multilateral (WTO), regional (AFTA), kerjasama informal APEC, dan ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015, UKM dituntut untuk melakukan pembahan guna meningkatkan daya saingnya agar dapat terus berjalan dan berkembang. Salah satunya adalahdengan cara menggunakan teknologi informasi (TI).

Penggunaan Tl dapat meningkatkan transformasi bisnis melalui kecepatan, ketepatan dan efisiensi pertukaran informasi dalam jumlah yang besar. Studi kasus di Eropa juga menunjukkan bahwa lebihdari 50% produktifitas dicapai melalui investasi di bidang TI. UKM dikatakan memiliki daya saing global apabila mampu menjalankan operasi bisnisnya secara reliable, seimbang, dan berstandar tinggi.

Berbagai kelemahan UMKM perlu segera diperbaiki. Berdasar data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) tahun 2011, usaha mikro 98,82%, kecil 1,09%, menengah 0,08%, dan usaha besar hanya 0,01%. Sementara itu, sumbangan sektor tersebut ke produk domestik bruto (PDB): usaha mikro 29,74%, kecil 10,46%, menengah 14,53%, dan usaha besar mencapai 45,27%. Ini menunjukkan kinerja UMKM belum sesuai harapan. Hal pertama yang perlu dibenahi adalah inovasi yang lemah.

Padahal, inovasi itu adalah kunci utama memenangkan persaingan. Untuk sektor pangan contohnya, kemasan produk pangan dari Malaysia jauh lebih baik dan didesain menarik dibanding produk kita. Dan di pasar swalayan banyak dijumpai produk Malaysia bersertifikat mutu internasional, sedangkan produk UMKM kita tampil apa adanya. Meski produk berfungsi sama, variasi produk, daya tarik kemasan menjadi faktor pembeda yang mempengaruhi keputusan pembelian. Ini perlu disadari UMKM Indonesia dan segera dibenahi agar bersaing di tingkat global.

Sedikit sekali UMKM dijalankan anak muda. Golongan muda lebih mengandalkan ijazah mereka untuk bekerja daripada mencoba berusaha sendiri. Berbagai latihan ketrampilan, manajemen, dan diklat teknis lain sesuai kebutuhan penting diadakan periodik. Dalam jangka pendek, SDM diperkuat dengan pendampingan terintegrasi.

UMKM merupakan salah satu motor pengerak perekonomian nasional. UMKM penting dilindungi dan dikembangkan lebih besar untuk menopang pertumbuhan ekonomi masyarakat. Penguatan UMKM mutlak dilakukan sebelum diberlakukannya AFTA di tahun 2015. Karena kita ingin melihat UMKM nasional mampu menjadi tuan di negeri sendiri dan menjadi tamu terhormat di negeri orang.

Contohnya adalah :

Industri kreatif kaos oblong.

Produk industri kreatif kaos oblong di Indonesia dapat bersaing, karena keunikan tema yang diusung. Joger sudah menjadi oleh-oleh khas Bali. Belum ke Bali, jika belum berkunjung dan berbelanja produk Joger.

 

DAFTAR PUSTAKA

[1] Philip Kotler, Jatusripitak, dan Maesincee; “The Marketing of Nations; A Strategic Approach to Building National Wealth (1997)”; dalam tulisan Iu Rusliana (UNJ); indonesiafinancetoday.com – 30 April 2013.
[2] UNDP; “Human Development Index (HDI) Report 2013, http://hdr.undp.org
[3] Sutrisno Budiharto; Penelitian APBD Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah dan DIY – 2007-2013.
[4] FITRA; “Kota-Kota yang Terancam Bangkurt”; gatra.com – 1 Agustus 2013.
[5] Perkembangan Data UMKM dan Usaha Besar (UB) Tahun 2011 – 2012; http://setkab.go.id
[6] Suryani SF Motik; “HIPPI: Indonesia Belum Siap Sambut AFTA 2015; indonesiafinancetoday.com – 7 Desember 2012.
[7] Global Competitiveness Index 2013–2014; World Economic Forum; – http://www3.weforum.org
[8] Resource Governance Index 2013 (RGI); Revenue Watch Institute (RWI) – http://www.revenuewatch.org/rgi
[9] Suryani SF Motik; “HIPPI: Indonesia Belum Siap Sambut AFTA 2015; indonesiafinancetoday.com – 7 Desember 2012.

https://denichaalviana.wordpress.com/2014/07/26/globalisasi-dan-afta-2015/

http://sutrisno-budiharto.blogspot.com/2014/02/afta-2015-bisa-ciptakan-bencana.html

Sumber : http://analisadaily.com/news/read/afta-2015-dan-ketidaksiapan-sdm-indonesia/53995/2014/08/12

Http://www.mb.ipb.ac.id

http://repository.mb.ipb.ac.id/1278/5/R12-05-Moh_Aris_Munandar-Pendahuluan.pdf

Tinggalkan komentar